REPORTASE EXPOSE.COM | SENDAWAR — Di balik gegap gempita Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2025, aroma busuk pungutan liar kembali tercium tajam di Kutai Barat. Meski secara tegas dilarang dalam Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025, praktik “tarik-menarik” uang dari kantong orangtua siswa masih saja terjadi, bahkan dilegalkan secara diam-diam oleh oknum sekolah.
RL Bandarsyah, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kubar, bersumpah akan mecopot kepala sekolah yang masih berani bermain-main dengan pungutan. “Saya pun siap diganti jika masih ada sekolah negeri yang memungut uang dari orangtua murid!” tegasnya lantang saat hearing panas di DPRD Kubar, Senin (14/7/2025).
Namun, sumpah serapah itu belum menembus tembok tebal kebiasaan. Bukti demi bukti justru menunjukkan sebaliknya: pungutan masih menggila. Di salah satu SD swasta di Barong Tongkok, siswa diperas hingga jutaan rupiah per tahun. Uang daftar ulang, uang kegiatan siswa, uang makan, bahkan “pungutan terselubung” berupa buku pelajaran mencapai lebih dari Rp 1 juta per anak! Lebih gila lagi, siswa kelas 6 SD dikenai Rp 1,160 juta hanya untuk buku pelajaran.
Tak berhenti di situ. Di tingkat SMP, sebuah sekolah swasta memalak siswa dengan dalih infak dan kegiatan ekstrakurikuler hingga total pungutan mencapai Rp 3 juta untuk kelas 9, termasuk “uang wisuda” sebesar Rp 1,5 juta.
Mata DPRD pun mulai terbuka. Sadli, anggota dewan dari Gerindra, mengakui masih banyak sekolah yang “lupa diri”, apalagi yang sudah digelontori dana BOS namun masih tega membebani rakyat kecil. Agus Sopian dari NasDem menegaskan, pungutan boleh asal tak memberatkan, tapi realitanya sangat jauh dari itu. Yang berat bukan hanya biayanya, tapi penderitaan orangtua yang dipermainkan sistem.
Puncak ironi: seorang anggota DPRD sendiri menjadi korban kebijakan PPDB, saat anaknya ditolak oleh SMP negeri karena perbedaan alamat di Kartu Keluarga (KK). Sekolah menutup mata pada aturan tentang pengecualian untuk mutasi kerja. Akibatnya, sang anak harus bersekolah jauh di Samarinda.
“Istri saya sering menangis karena anaknya ditolak di rumah sendiri,” ungkap sang anggota dewan dengan getir.
Sistem yang korup bukan hanya soal uang. Ia telah mengorbankan rasa keadilan, merusak harapan anak-anak, dan menghancurkan logika kemanusiaan. Sudah saatnya pengawasan tidak sekadar janji. Jika kepala sekolah tak mau berubah, copot! Jika Dinas tak sanggup bersih-bersih, gulingkan!
Penulis: Johansyah.