80 Tahun Merdeka: Tapi Siapa yang Sungguh Merdeka?

REPORTASE EXPOSE.COM – Indonesia akan genap berusia 80 tahun pada 17 Agustus 2025. Delapan dekade sejak Proklamasi dikumandangkan, delapan dekade sejak bangsa ini bangkit dari belenggu kolonial, berdiri di atas kaki sendiri, dan menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka.

Namun, delapan puluh tahun setelah kata “merdeka” diteriakkan di Jalan Pegangsaan Timur itu, pertanyaan paling mendasar masih menggema di pelosok-pelosok negeri: apakah rakyat benar-benar telah merdeka?

Bacaan Lainnya

Saya berdiri di antrean panjang SPBU desa, menyaksikan seorang petani tua menggenggam jerigen kosong. Bukan untuk menimbun, tapi demi beberapa liter solar agar pompa airnya bisa menyiram sawah yang makin kering. Di sudut lain, ibu-ibu pulang dengan karung kosong karena pupuk subsidi yang dijanjikan negara tak kunjung tiba. Di sisi lain lagi, tabung-tabung gas digotong dalam antrean yang tak pasti, dan pemuda-pemuda kampung perlahan meninggalkan ladang, karena tanah yang diwariskan leluhur tak lagi memberi penghidupan.

Sementara itu, panggung-panggung mewah dibangun di pusat kota. Parade militer dan tayangan nasionalisme membanjiri layar televisi. Lagu-lagu perjuangan mengudara. Tetapi di akar rumput, kenyataan berkata lain: kemerdekaan belum menjangkau semua orang.

Tanah ini subur, kaya raya. Hutan, laut, tambang, dan sawah adalah anugerah. Tapi kekayaan itu tak pernah benar-benar berpihak pada mereka yang paling tahu cara merawatnya. Petani tetap miskin. Nelayan tetap berjuang. Buruh tetap menggigit jari. Padahal merekalah yang paling pertama menyentuh bumi, dan paling paham cara menjaganya.

Kini kita tidak dijajah bangsa asing, tapi oleh sistem yang tidak berpihak. Kebijakan lahir dari ruang rapat berpendingin udara, jauh dari lumpur sawah dan debu jalanan desa. Kehidupan kami ditentukan oleh angka-angka di lembaran APBN, yang tak pernah benar-benar menjelma menjadi kesejahteraan nyata.

Negara bicara soal kedaulatan energi, tapi di desa kami, rakyat masih harus antre solar dari subuh hingga siang. Negara bicara tentang ketahanan pangan, tapi pupuk langka dan mahal. Negara bicara tentang pemerataan ekonomi, tapi harga panen ditentukan oleh pasar yang hanya mendengar suara tengkulak. Dan rakyat? Diminta percaya bahwa ini bagian dari proses pembangunan.

Lebih menyakitkan, bahkan setelah 80 tahun merdeka, kami masih harus membayar mahal untuk tinggal di tanah sendiri. Pajak bumi dan bangunan dipungut tiap tahun, meski jalan rusak, air bersih tak mengalir, dan pelayanan publik nyaris tak terasa. Motor tua kami tetap dikenai pajak, meski hanya dipakai ke ladang. Gaji kecil tetap dipotong pajak, meski tak cukup untuk hidup layak. Bila kami telat membayar, negara hadir cepat dengan surat teguran dan denda. Tapi saat kami meminta bantuan, negara hadir dengan birokrasi yang berlapis dan janji yang kosong.

Kami hidup dalam dua wajah negara: tegas saat menagih, tapi abai saat melayani.

Mereka yang duduk di kursi kekuasaan mungkin tak pernah tahu rasanya bertani tanpa pupuk. Mereka yang menyusun anggaran pembangunan mungkin tak pernah antre di SPBU sejak subuh. Mereka yang membuat kebijakan pertanian mungkin tak pernah menjejak pematang sawah yang kering dan mati.

Padahal kemerdekaan seharusnya berarti keadilan. Keadilan dalam akses pangan, energi, kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang layak. Tapi kini, keadilan hanya hidup di teks pidato. Bukan di nadi kehidupan rakyat kecil.

Kami bukan tidak bersyukur atas kemerdekaan yang diperjuangkan darah dan nyawa para pendiri bangsa. Kami hanya kecewa, karena setelah delapan puluh tahun, kemerdekaan itu belum benar-benar terasa. Kami tidak hendak memberontak. Kami hanya ingin didengar. Dilihat. Diakui sebagai warga negara, bukan sekadar angka statistik dalam laporan pembangunan.

Kekecewaan ini tumbuh dari ketidakadilan yang terus-menerus diabaikan. Ketika suara rakyat kecil tak pernah sampai ke ruang-ruang keputusan, maka demokrasi hanya tinggal prosedur, dan kemerdekaan hanya jadi simbol.

Maka pada usia ke-80 kemerdekaan ini, mari kita jujur:
Indonesia belum sepenuhnya bebas.

Selama rakyat harus antre untuk BBM yang menjadi haknya, selama pupuk subsidi hanya jadi catatan di atas meja, selama petani terus merugi, dan rakyat kecil harus terus membayar untuk hak-haknya sendiri, maka kemerdekaan belum menjadi kenyataan.

Dan jika kemerdekaan hanya tinggal nama, maka kita semua sedang dijajah — dijajah dalam diam.
Dijajah oleh sistem.
Dijajah oleh kata yang terus kita agung-agungkan setiap Agustus: “Merdeka.”

Penulis adalah anak dari seorang veteran, kini aktif sebagai seniman politik lokal di Aceh. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *