AI dan Masa Depan Jurnalisme, AJI: AI bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, dalam konferensi CTRL+J APAC Tech and Journalism in the Global South 2025, Selasa (22/7/2025).
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, dalam konferensi CTRL+J APAC Tech and Journalism in the Global South 2025, Selasa (22/7/2025).

Di tengah arus informasi yang semakin deras dan tak jarang menyesatkan, peran jurnalisme independen menjadi semakin vital. Tanpa kehadiran media yang berpihak pada kebenaran dan kepentingan publik, masyarakat berisiko kehilangan pegangan dalam memilah fakta dari opini, data dari disinformasi. Jurnalisme yang bebas dan bertanggung jawab bukan sekadar pelengkap demokrasi, ia adalah fondasinya.

REPORTASE EXPOSE.COM, JAKARTA – Evolusi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan perkembangan teknologi digital membuka peluang luar biasa bagi dunia jurnalistik. Namun di balik peluang tersebut, terselip tanggung jawab besar dan tantangan kompleks yang tak bisa diabaikan. Dari penyebaran misinformasi yang makin meluas, dilema etika konten generatif, tekanan ekonomi terhadap organisasi media, hingga ketimpangan dalam kompensasi kerja jurnalistik, semuanya semakin mengemuka akibat proses digitalisasi yang masif.

Bacaan Lainnya

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menggarisbawahi bahwa disrupsi teknologi tidak serta merta menggantikan peran vital jurnalisme berkualitas sebagai penjaga akuntabilitas dan suara komunitas. Namun, tanpa jurnalisme yang merdeka, masyarakat rentan kehilangan arah di tengah kompleksitas informasi saat ini.

“Tanpa jurnalisme independen yang kuat, masyarakat kita berisiko kehilangan arah dalam dunia yang semakin kompleks,” tegas Nezar dalam konferensi CTRL+J APAC Tech and Journalism in the Global South 2025, Selasa (22/7/2025).

Nezar menyebut bahwa saat ini telah terjadi pergeseran besar dalam lanskap media, terutama di kawasan Asia Pasifik. Dua platform digital global tercatat meraup pendapatan iklan sebesar US$20 miliar pada 2024, melampaui media tradisional. Diprediksi pada 2028, 81 persen anggaran iklan di kawasan ini akan tersedot ke sektor digital, sebagian besar melalui perangkat seluler.

Di Indonesia, media sosial telah menjadi gerbang utama konsumsi informasi. Sebanyak 57 persen masyarakat mengandalkan media sosial sebagai sumber berita utama, sementara 50 persen kelompok usia 18–24 tahun mendapatkan berita dari platform digital. Pergeseran ini menciptakan tekanan besar pada media konvensional, yang kini menghadapi penurunan pendapatan secara drastis.

“Sayangnya, kegagalan model ekonomi media membuat sebagian besar pendapatan justru mengalir ke pemilik platform, bukan ke pembuat konten,” kata Nezar.

Situasi ini memicu krisis kepercayaan publik terhadap media. Survei menunjukkan lebih dari 60 persen masyarakat meragukan independensi berita, dan 75 persen lainnya mengaku tidak rutin mengakses berita nasional.

Untuk itu, pemerintah Indonesia berkomitmen membangun ekosistem teknologi dan jurnalisme yang saling menguatkan. Hal ini mencakup investasi dalam infrastruktur digital, serta regulasi yang berpihak pada penerbit lokal agar memperoleh manfaat lebih adil dari distribusi berita di platform digital.

Nezar juga menyinggung masa depan jurnalisme di tengah gempuran AI. Menurutnya, teknologi harus menjadi pendorong jurnalisme berkualitas, bukan sebaliknya.

“Kita harus memperjuangkan demokrasi yang lebih adil antara media dan teknologi global. Pembuat konten harus diakui dan diberi kompensasi secara layak. AI harus berkembang secara etis, menghormati manusia, menjunjung akurasi, dan menolak narasi yang menyesatkan,” ujarnya.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, menambahkan bahwa AI bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, tetapi perlu dipahami, dibentuk, dan digunakan secara bijak. Ia menegaskan bahwa AI seharusnya memperkuat kemampuan jurnalis, bukan menggerusnya.

“Di AJI, kami percaya bahwa AI bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, tetapi sesuatu yang harus dipahami, dibentuk, dan digunakan secara bijak,” ujar Nany.

Sebagai bentuk tanggung jawab, AJI telah menerbitkan panduan etika AI dalam jurnalisme. Inisiatif ini diharapkan menjadi kontribusi penting dalam upaya global membentuk pemanfaatan AI yang menghargai prinsip jurnalisme.

“Kehadiran AI seharusnya membantu jurnalis memperkaya fakta, bukan menghancurkannya,” sambungnya.

Nany juga menyoroti pentingnya kesetaraan akses terhadap teknologi AI, baik di negara maju (Global North) maupun negara berkembang (Global South). Ini meliputi dukungan infrastruktur, pelatihan sumber daya manusia, serta keterlibatan publik dalam membentuk tata kelola teknologi yang inklusif.

“Kami mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia dalam merespons tren AI. Tapi penting juga memastikan bahwa jurnalis dan masyarakat luas dilibatkan dalam percakapan ini,” tutup Nany.

Penulis: Johansyah

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *