Indonesia Gelap atau Terang Benderang? Tergantung Cara Pandangnya!

Andre Vincent Wenas, MM, MBA., Pemerhati Masalah Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta
Andre Vincent Wenas, MM, MBA., Pemerhati Masalah Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta

Jakarta Reportaseexpose.com – Apakah Indonesia sedang gelap gulita atau terang benderang? tergantung cara pandang masing-masing. Bagi mereka yang memiliki literasi terbatas, segalanya tampak gelap, bahkan di tengah siang hari. Namun, bagi yang telah membaca dengan teliti Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 tentang “Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN & APBD Tahun Anggaran 2025”, semua itu terang benderang.

Berdasarkan Instruksi Presiden No. 1/2025 hanya terdiri dari 6 halaman, dengan dua halaman pertama dan terakhir hanya berisi judul dan tanda tangan. Jadi, hanya ada empat halaman yang perlu diteliti dan didiskusikan. Bagi para mahasiswa dan kaum terpelajar, membaca dan memahami instruksi ini tidak akan terlalu berat. Selanjutnya, mereka bisa mendiskusikannya di ruang perpustakaan secara mendalam, meneliti intensi serta implikasinya.

Bacaan Lainnya

“Artinya, para mahasiswa dapat menjadikan Inpres ini sebagai wacana intelektual yang khas bagi mahasiswa kritis dan cerdas, bukan dengan aksi turun ke jalan, bakar ban, atau membuat keributan. Terlebih lagi jika aksi tersebut dipolitisasi oleh pihak-pihak yang memiliki masalah dengan pemerintah, “ ungkap, Andre Vincent Wenas, MM, MBA., Pemerhati Masalah Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta. Jakarta Kamis (20/2/2025).

Demonstrasi harus dilandasi oleh kajian yang matang, seperti yang dilakukan oleh Soe Hok Gie, yang sebelum turun ke jalan, mempelajari masalah melalui diskusi kelompok studi di kampus dan kemudian menulisnya dalam artikel-artikel kritis yang dipublikasikan. Hanya setelah itu, jika perlu, barulah ia turun ke jalan untuk menggelar parlemen jalanan.

“Jangan hanya turun ke jalan karena ada sponsor atau korlap yang membagi-bagikan uang Rp 40 ribu per orang, kemudian teriak-teriak di jalan, bakar ban, mengganggu lalu lintas, dan menyusahkan rakyat yang tengah mencari nafkah di tengah siang hari. Jika demikian yang terjadi, kita perlu merenung, siapa sebenarnya yang menyebabkan kegaduhan sosial ini. Jadilah kritis dan adil dalam berpikir. Jangan sampai kita diperalat oleh mereka yang masih menyimpan dendam setelah kalah dalam pemilihan presiden, “ sambungnya.

Soal Pendidikan dan Kesehatan

Pendidikan tetap menjadi prioritas pemerintah. Tidak ada pemotongan anggaran atau pemangkasan apa pun, dan tidak ada kenaikan pada Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT adalah dana yang harus dibayarkan mahasiswa per semester, dengan besaran yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua atau wali.

Pemerintah juga tetap menjadikan kesehatan rakyat sebagai agenda penting. Program cek kesehatan gratis kini dapat dimanfaatkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Anggaran yang dialihkan untuk efisiensi justru bertujuan untuk menghindari kebocoran, sehingga lebih baik dana tersebut digunakan untuk kemaslahatan rakyat.

“Misalnya, efisiensi pada anggaran alat tulis kantor (ATK) yang mencapai Rp 40 triliun dapat dialihkan untuk membeli gabah petani, yang akan menyelamatkan jutaan petani di seluruh Indonesia, “kata Andre.

Bocornya anggaran negara sering kali bersifat “bocor halus”. Misalnya, untuk pemberantasan kemiskinan, pejabat pemerintah seringkali merancang program “studi banding” ke negara-negara maju. Lalu, dilakukanlah “focus group discussion” soal kemiskinan di hotel-hotel bintang empat atau lima, yang kemudian menghasilkan laporan yang hanya menumpuk di arsip Kementerian atau Lembaga. Laporan tersebut tidak pernah dibaca atau ditindaklanjuti.

“Akhirnya, laporan itu hanya menjadi tumpukan kertas yang dijual di pasar loak untuk jadi pembungkus gorengan, yang akhirnya dikonsumsi oleh rakyat miskin. Inilah sirkulasi pengentasan kemiskinan yang berputar-putar tanpa arah, “ imbuhnya.

Perekonomian Indonesia

Di tengah dampak residu pandemi global, ekonomi Indonesia alhamdulillah masih berada di atas rata-rata capaian ekonomi dunia. Semua negara kini fokus pada agenda domestik mereka masing-masing. Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Donald Trump dengan agenda “America First”-nya, mungkin dianggap chauvinis oleh sebagian kalangan. Namun, itulah kenyataan yang kita hadapi. Di tengah dinamika geopolitik global, kita perlu bersikap “Indonesia First”. Mengapa tidak?

Program domestikasi Freeport, yang kini mayoritas kepemilikannya ada di tangan Indonesia, serta hilirisasi berbagai industri, akan terus dilanjutkan. Presiden Prabowo Subianto juga telah mengingatkan kita untuk tidak lengah, karena 40 persen jalur perdagangan dunia melewati wilayah Indonesia.

Posisi geografis Indonesia yang menghubungkan dua samudera dan dua benua merupakan fakta sekaligus berkah. Itu tergantung bagaimana kita bersikap dan memanfaatkannya.

Bonus Demografi dan Prioritas Pemerintah

Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2030-2045, dan pemerintah harus menetapkan skala prioritas untuk memanfaatkan peluang ini agar kita tidak terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah. Ini adalah kesempatan emas yang tidak akan terulang dalam seratus tahun lagi.

“Sekadar mengingatkan, pada akhir 1993, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, ayah dari Presiden Prabowo Subianto, memberikan peringatan bahwa anggaran negara bocor sekitar 30 persen. Angka ini didasarkan pada ICOR Indonesia yang pada saat itu sebesar 5, sementara ICOR rata-rata negara ASEAN sekitar 3,5. ICOR adalah rasio yang menunjukkan efisiensi perekonomian suatu negara. Waktu itu, pernyataan Prof. Soemitro menjadi heboh, dan akhirnya diubah menjadi istilah “inefisiensi” sebesar 30 persen, lebih sopan daripada menyebutnya “korupsi” atau “bocor”, katanya.

Anggaran negara Indonesia sekarang (2025) sekitar Rp 3.600 triliun, dan program efisiensi tahap pertama yang dilakukan oleh Prabowo Subianto berhasil menyisir sekitar Rp 306 triliun atau sekitar 8,5 persen. Kabarnya, efisiensi tahap kedua akan dilanjutkan hingga mencapai Rp 750 triliun, yang setara dengan sekitar 20,8 persen dari APBN.

Apakah ada tahap ketiganya sehingga efisiensi anggaran bisa mencapai 30 persen seperti yang diperingatkan oleh Prof. Soemitro? Artinya, penggunaan anggaran negara dapat dipastikan lebih tepat sasaran.

Program efisiensi yang digagas oleh Prabowo Subianto lewat Inpres No. 1 Tahun 2025 ini membawa terang benderang, dan membuat gelap gulita bagi para koruptor atau mafia anggaran. Tidak heran jika mereka marah.

Redaksi : Johansyah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *