REPORTASE EXPOSE.COM, SENDAWAR – Ketua DPP LSM-RADAR, Hertin Armansyah, menegaskan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat (Kubar) harus melakukan kajian menyeluruh sebelum kembali menganggarkan untuk kegiatan proyek yang mangkrak sejak 2015.
Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Pandawa Bertuah (LSM-RADAR) mengirim sinyal keras kepada Pemkab Kubar agar tidak gegabah melanjutkan proyek pembangunan Jembatan Aji Tulur Jejangkat (ATJ). Proyek yang sudah menghabiskan anggaran besar sejak 2008 ini dinilai penuh misteri, sarat kepentingan kelompok elit tertentu, dan hingga kini belum menunjukkan kejelasan penyelesaian.
“Jangan sampai Jembatan ATJ hanya menjadi obyek kepentingan, sarang penggelapan uang rakyat, dan alat untuk menguntungkan korporasi tertentu. Ujung-ujungnya, rakyat yang dirugikan,” tegas Hertin, kepada reportaseexpose.com, Sabtu (27/09/2025)
Sejarah Panjang dan Anggaran Raksasa
Proyek Jembatan ATJ pertama kali dimulai pada masa Bupati Ismael Thomas, tepatnya Agustus 2008, dengan ditandai pemancangan tiang perdana. Saat itu, proyek ditargetkan rampung pada 2010, dengan total estimasi anggaran mencapai sekitar Rp 598 miliar, terdiri dari:
- Tahap I: Rp 18 miliar
- Tahap II: Rp 86 miliar
- Jembatan pendekat: Rp 21 miliar
- Tahap selanjutnya: sekitar Rp 473 miliar
Namun, realisasi jauh dari target. Proyek ini juga melibatkan sejumlah pihak besar, seperti:
- PT Surya Abadi Konsultan (perencana)
- PT Laras Respati Utama Samarinda (supervisi)
- Konsorsium kontraktor: PT Waskita Karya, PT Baswara Sinar Mulia, dan PT Mahir Jaya Mahakam
Kontrak Ratusan Miliar, Progres Hanya 40 Persen
Pelelangan proyek utama baru dilakukan pada 2012, dengan nilai kontrak mencapai Rp 341 miliar. Proyek ini dimenangkan oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk dan dijadwalkan selesai dalam 1.094 hari kalender atau sebelum 20 November 2015.
Lelang ini diikuti 17 perusahaan, termasuk enam BUMN besar dan dua swasta nasional. Namun, meski sempat dilakukan adendum hingga 2016, realisasi pekerjaan tak pernah menyentuh target. Progres fisik hanya mentok di angka 40 persen. “Lebih ironis, pekerjaan malah disubkontrakkan ke perusahaan yang tak memenuhi kualifikasi. Hasilnya amburadul dan mengecewakan,” ungkap Hertin.
Menurut LSM-RADAR, proyek ini tidak pernah kekurangan dukungan politik maupun anggaran. Sejak awal, DPRD Kutai Barat telah menyetujui skema multiyears. Tahun 2015, proyek kembali masuk dalam APBD 2016. Namun, stagnasi tetap berlanjut hingga akhirnya anggaran tambahan pada 2018 dialihkan oleh Bupati FX. Yapan. “Puluhan hingga ratusan miliar rupiah sudah digelontorkan, tapi jembatan tak kunjung selesai. Ini jelas-jelas pemborosan uang rakyat,” tegas Hertin.
Melihat sejarah panjang dan serangkaian kegagalan, LSM-RADAR mendesak Pemkab Kubar untuk bersikap lebih transparan dan bertanggung jawab. Setiap rencana kelanjutan pembangunan Jembatan ATJ harus diawali dengan:
- Audit menyeluruh penggunaan anggaran
- Evaluasi kinerja kontraktor
- Investigasi potensi penyimpangan hukum dan prosedur
“Pemda jangan hanya mengejar pencitraan. Warga Kubar butuh kepastian dan hasil nyata, bukan janji yang terus diulang. Kalau tidak dikaji serius, proyek ini hanya akan menjadi kuburan uang rakyat,” tutup Hertin.
Pernyataan LSM-RADAR itu ternyata erat kaitannya dengan kedatangan Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Kabupaten Kutai Barat. Rombongan yang dipimpin langsung oleh Ketua Satgas 1 Bidang Pencegahan Direktorat IV Kedeputian Koordinasi dan Supervisi, Wahyudi, membawa misi serius untuk memastikan tidak adanya penyimpangan anggaran negara, terutama pada proyek-proyek besar yang diduga mangkrak.
Dalam audiensi bersama Bupati Kutai Barat FX. Yapan SH dan seluruh pimpinan serta anggota DPRD Kubar, Selasa (21/6/2022), Wahyudi menegaskan, kunjungan KPK ini bagian dari program Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi Terintegrasi. “Kami tidak datang mendadak. Surat sudah dikirim ke Ketua DPRD sepekan sebelumnya,” tegas Wahyudi di ruang rapat Komisi DPRD Kutai Barat.
Fokus utama KPK membidik empat proyek bernilai besar yang menjadi sorotan publik, Jembatan ATJ (Aji Tulur Jejangkat), Jalan Bung Karno, Dermaga, dan Kristian Center. Nilai dari keempat proyek tersebut ditaksir mencapai lebih dari Rp1 triliun.
“Total anggaran yang dikeluarkan bahkan bisa mencapai Rp1,2 triliun jika ditambah proyek lainnya. Tapi yang kami lihat, belum ada manfaat nyata yang dirasakan masyarakat,” jelas Wahyudi dengan nada tegas.
Ia menekankan pentingnya dokumentasi. “Kalau pemerintah daerah ingin kami bantu dari sisi pencegahan, semua dokumen harus disediakan: mulai dari KAK, DED, kontrak, sampai legalitas lainnya. Jika tidak, maka penindakan akan menjadi opsi berikutnya,” imbuhnya, merujuk pada keterlibatan pihak penindakan yang dipimpin oleh Aprizal.
Wahyudi juga mempertanyakan pengawasan DPRD terhadap kontrak multiyears yang kontroversial. “Kenapa bisa lolos? Apakah waktu itu DPRD tidak menyadari potensi masalahnya? Ini menjadi catatan penting,” ucapnya sembari menyoroti lemahnya pengawasan legislatif.
Saat dikonfirmasi media, Wahyudi menjelaskan bahwa kunjungan ini juga merupakan bagian dari upaya monitoring tata kelola pemerintahan daerah melalui instrumen Monitoring Center for Prevention (MCP). Salah satu tujuannya adalah mengevaluasi apakah aset-aset yang belum dimanfaatkan tersebut masih bisa digunakan secara optimal.
Namun, Wahyudi menegaskan bahwa pencegahan tidak berarti menghapus potensi penindakan. Ia menyebut “Trisula Pemberantasan Korupsi” yang dijalankan KPK, yaitu: Pendidikan, Pencegahan, dan Penindakan. “Kalau bisa dicegah, uang negara yang diselamatkan bisa lebih banyak. Tapi jika tidak, maka penindakan akan kami dorong,” tegasnya.
Dokumen Hilang, Siapa Bertanggung Jawab?
KPK juga menyoroti ketiadaan dokumen sebagai masalah serius. “Kalau kwitansi makan hilang, itu wajar. Tapi ini duit triliunan, kok bisa dokumen hilang? Memangnya pernah kebakaran? Banjir bandang? Atau ada tuyul yang ngambil dokumen?” tanya Wahyudi, disambut gelak tawa para anggota dewan yang memang doyan tertawa haha hihi.
Namun nada bercanda itu tidak menutupi keseriusan pesannya. “Kalau tidak ada kejadian luar biasa, kehilangan dokumen ini patut dipertanyakan. Retensi dokumen itu minimal 10 tahun, lho,” katanya, mengingatkan adanya pelanggaran regulasi arsip yang bisa berujung pidana.
Penulis: Johansyah