REPORTASE EXPOSE.COM – SENDAWAR | Aroma busuk penegakan hukum kembali menyengat di Kutai Barat. RAA, tersangka tunggal dalam kasus dugaan korupsi proyek Rehabilitasi Jaringan Irigasi Muara Kedang Kecamatan Bongan Tahun Anggaran (TA) 2020, secara resmi mempraperadilkan Kejaksaan Negeri Kubar, yang dituding menyalahgunakan wewenang dan melabrak prosedur hukum secara brutal!
Sidang praperadilan dengan Nomor Perkara: 2/Pid.Pra/2025/PN Sdw digelar di Pengadilan Negeri Kutai Barat, Kamis (24/7/2025), dan kini memasuki babak panas pemeriksaan saksi dan ahli. Hadir ahli adalah Prof. DR. Salmon Yosep Nirahua, SH, MH, Guru Besar Ilmu Hukum Dosen Fakultas Pattimura (Unpatti) yang menyebut dalam persidangan bahwa kasus ini penuh kejanggalan hukum serius.
“Penetapan tersangka ini Cacat hukum maka harus dibatalkan, ” tegas Prof. DR. Salmon Yosep Nirahua, SH, MH.
Pengacara RAA, Elia Ronny Sianressy, menyebut penetapan tersangka terhadap kliennya merupakan bentuk abuse of power yang nyata (“Abuse of power” atau penyalahgunaan kekuasaan adalah tindakan seseorang yang memanfaatkan jabatan atau wewenang yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau pihak tertentu, yang bertentangan dengan peraturan dan hukum yang berlaku. Tindakan ini seringkali merugikan orang lain atau pihak yang seharusnya dilindungi oleh kekuasaan tersebut-Red), karena dilakukan tanpa disertai Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sesuai ketentuan hukum.
“Penyidikan dilakukan 18 April 2024, tapi SPDP baru diberikan 03 Juni 2025. Itu bukan kelalaian, itu pembegalan hukum!” tegas Elia.
Tak hanya itu. Penetapan tersangka juga dilakukan tanpa dasar utama dalam kasus korupsi, yakni perhitungan kerugian negara. Elia menilai ini sebagai cacat hukum fatal yang seharusnya menggugurkan seluruh proses hukum terhadap kliennya.
“Bagaimana mungkin seseorang ditetapkan sebagai koruptor, sementara kerugian negaranya saja belum dihitung? Ini tidak masuk akal, “ tegas Ronny kepada Reportase Expose usai sidang Praperadilan.
Lebih mencurigakan lagi, dari seluruh struktur pelaksana proyek, hanya RAA yang ditetapkan sebagai tersangka. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), PPTK, dan Pengguna Anggaran justru hanya diperiksa sebagai saksi, padahal secara aturan merekalah pihak yang memegang otoritas pelaksanaan kegiatan.
“Penetapan tunggal ini janggal dan sarat muatan politik atau kepentingan tertentu. Ini bukan penegakan hukum, tapi perburuan kambing hitam,” tandas Elia.
Diketahui, proyek ini bersumber dari Dinas PUPR Kubar tahun 2020, telah rampung, diserahterimakan resmi (FHO), dan bahkan telah melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tanpa temuan pelanggaran hukum.
Namun, hampir lima tahun setelah proyek selesai, penyidik mendadak muncul dan menetapkan satu orang sebagai tersangka, tanpa disertai dasar yang sah. Ini membuat banyak pihak menduga: Apakah kasus ini murni penegakan hukum, atau ada agenda tersembunyi di baliknya?
Sementara itu, saksi/ahli bersikeras berdasarkan keahliannya menyebut, proses penetapan tersangka adalah cacat hukum.
Kini, publik menunggu apakah hakim Buha Ambrosius Situmorang akan menegakkan hukum yang adil atau tunduk pada tekanan prosedur yang cacat.
Penulis: Johansyah