Sendawar, Reportaseexpose.com – Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Mook Manor Bulant Lestari (MBL), Wesly Siregar, S.T., M.T., menanggapi positif kunjungan tim Gabungan Komisi (Gakom) yang terdiri dari Komisi I, II, dan III DPRD Kabupaten Kutai Barat (Kubar) ke lokasi perusahaan pertambangan batu bara milik PT MBL di Kampung Mantar, Kecamatan Damai pada Jumat, 31 Januari 2025.
Dalam kunjungan tersebut, tim Gakom bersama manajemen PT MBL membahas sejumlah isu, termasuk laporan dari masyarakat setempat terkait keberadaan workshop yang berada di pinggir jalan PU, serta masalah terkait stockpile dan izin usaha yang menjadi sorotan.
Sebelumnya, tim yang dibentuk oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kubar, Leonard Yudiarto, melakukan investigasi lapangan pada Kamis, 6 Februari 2025. Hasil investigasi menunjukkan tiga poin pelanggaran yang perlu mendapat perhatian. Pelanggaran pertama terkait indikasi kesalahan dalam pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan produk Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Kedua, ada masalah pemanfaatan bagian milik jalan, baik yang dilintasi maupun yang digunakan menuju workshop dan area parkir. Ketiga, terkait persetujuan bangunan gedung/Workshop.
Menanggapi dugaan pelanggaran perizinan yang disampaikan oleh PUPR, PT MBL membantah tuduhan tidak memiliki izin. Wesly Siregar menegaskan bahwa perusahaan sudah memiliki berbagai izin untuk menjalankan operasional tambang, termasuk izin Usaha Pertambangan Operasi dan Produksi yang diterbitkan oleh Bupati Kutai Barat.
“PT MBL dalam menjalankan usaha pengangkutan batu bara sudah mematuhi semua prosedur perizinan yang berlaku. Kami memiliki izin yang lengkap, seperti izin Usaha Pertambangan Operasi dan Produksi yang dikeluarkan oleh Bupati Kutai Barat, izin Lingkungan (Amdal), izin untuk jalan angkut batu bara, pelabuhan khusus, serta izin lalu lintas seperti izin untuk jembatan Mantar, Jembatan Benggeris, dan izin lintas di KM 26 Benggeris sebelum dibangunnya underpass,” jelas Wesly kepada media Reportase Expose melalui sambungan telepon pada Sabtu, (8/2/2025.
Dinas PUPR juga memberikan respon positif. Diungkapkan oleh Leonard Yudiarto, ada ketidakjelasan mengenai kewenangan yang berlaku, apakah kewenangan tersebut ada di pusat, provinsi, atau kabupaten. Hal ini menjadi salah satu penyebab adanya potensi pelanggaran, sebagaimana disampaikan oleh pihak PT MBL dalam pertemuan tersebut.
Menurut Leonard, hal ini menjadi poin penting yang akan dibahas dalam Forum Penataan Ruang (FPR), untuk menciptakan mekanisme pengawasan yang lebih jelas dan efisien agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Dinas PUPR juga meminta agar PT MBL segera mengurus izin untuk pemanfaatan bagian jalan, serta mempercepat perencanaan konstruksi untuk memperkuat jalan yang dilintasi angkutan batu bara.
“Perencanaan tersebut menjadi syarat untuk diterbitkannya Rekomendasi Teknis Pemanfaatan Bagian Jalan oleh Dinas PUPR melalui Bidang Bina Marga (BM), sambil menunggu kejelasan layanan melalui OSS RBA. Kami ingatkan bahwa izin yang diterbitkan berdasarkan PermenPUPR 20 Tahun 2010 bersifat sementara dan hanya berlaku untuk keperluan pembangunan jembatan, apakah itu flyover atau underpass,” jelas Leonard.
Meski PT MBL telah mengajukan izin pemanfaatan bagian jalan sejak 2023, prosesnya masih dalam tahap pencarian solusi terkait layanan yang akan diterapkan. Wesly juga menjelaskan bahwa perusahaan telah mengajukan persetujuan teknis terkait Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN) kepada Dinas Perhubungan Kubar pada 2023, dan pada 2024, perusahaan telah memperoleh persetujuan teknis hasil Dampak Lalu Lintas Bangkitan Tinggi dari Direktur Jenderal Perhubungan Darat.
Leonard juga menyoroti pentingnya menyelidiki penyebab utama pelanggaran yang terjadi, baik itu karena kelalaian pemerintah dalam memberikan layanan dan pengawasan, atau karena adanya regulasi yang membingungkan, terutama mengenai tumpang tindih kewenangan di tingkat pemerintah daerah dan pusat. Menurut Leonard, sistem OSS yang ada belum sepenuhnya tepat dalam memfilter kewenangan layanan, yang sering kali diarahkan ke pemerintah pusat meskipun seharusnya ditangani oleh pemerintah kabupaten berdasarkan nilai investasi perusahaan
“Peraturan sudah jelas, tetapi aplikasi OSS masih kesulitan dalam memfilter kewenangan sesuai dengan peraturan teknis. Sistem ini lebih memprioritaskan nilai investasi, padahal pengurusan izin seharusnya diverifikasi oleh Pemerintah Kabupaten, bukan diarahkan ke Pemerintah Pusat,” ungkap Leonard Yudiarto.
Sementara itu, Wesly menyoroti betapa sulitnya proses pengurusan izin yang kerap berpindah-pindah dan memunculkan kebingungannya. “Kami merasa kesulitan dengan proses izin yang sering kali diserahkan ke pihak lain. Akhirnya, kami memilih untuk mengurus Andalalin yang mengakomodasi semua kepentingan terkait persimpangan, jalan provinsi, hingga jalan kabupaten,” jelas Wesly. Ia menegaskan bahwa PT MBL selalu berupaya mematuhi peraturan dan mengurus izin yang diperlukan demi kelancaran operasional.
Terakhir, terkait pelanggaran ketiga yang mengarah pada persetujuan bangunan gedung, workshop. PT MBL menyatakan bahwa lahan dan bangunan yang bersangkutan adalah milik mitra perusahaan, bukan bagian dari pengelolaan langsung PT MBL.
Penulis: Johansyah