Sengketa Politik Uang di Kabupaten Barito Utara: Cerminan Etika Politik Nasional

Oleh: Andre Vincent Wenas
Jakarta Reportase Expose.com – Kasus sengketa Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, mengungkap kembali borok politik uang yang masih merajalela, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga mencerminkan potret buram etika politik nasional.

Praktik-praktik semacam ini mengingatkan kita pada kasus-kasus besar seperti Harun Masiku, di mana politik uang dijalankan dengan begitu sistematis dan masif.

Bacaan Lainnya

Di Barito Utara, dugaan kecurangan ini dilakukan oleh Paslon Nomor Urut 02, Akhmad Gunadi Nadalsyah dan Sastra Jaya. Modusnya, uang hingga Rp 16 juta dibagikan kepada para pemilih di dua TPS yang menjadi lokasi PSU—TPS 01 Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah, dan TPS 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru.

Distribusi uang ini dilakukan dalam beberapa tahap sejak akhir 2024 hingga menjelang PSU pada Maret 2025. Dalam beberapa kasus, nominalnya bahkan mencapai Rp 25 juta per orang.

Laporan penggerebekan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, Bawaslu, dan TNI pada 14 Maret 2025, menemukan bukti-bukti praktik politik uang di posko pemenangan paslon tersebut.

Pengadilan Negeri Muara Teweh telah menjatuhkan vonis pidana 36 bulan penjara dan denda Rp 200 juta kepada tim sukses Paslon 02 yang terbukti melakukan pelanggaran.

Efek dari praktik ini langsung terlihat pada hasil suara PSU. Perolehan suara Paslon 02 melonjak signifikan di kedua TPS tersebut, sehingga membalikkan hasil sebelumnya. Hal ini menjadi alasan bagi Paslon Nomor Urut 01, Gogo Purman Jaya dan Hendro Nakalelo, untuk kembali menggugat hasil PSU ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka menuntut pembatalan kemenangan Paslon 02 dan mendiskualifikasi mereka dari pencalonan.

Cermin Politik Nasional dan Harapan Masa Depan
Sengketa ini adalah refleksi dari realitas politik di Indonesia, di mana praktik uang dalam demokrasi menjadi tantangan besar untuk menciptakan politik yang lebih jujur, adil, dan bermartabat.

Jika dibiarkan, hal ini dapat memperkuat pandangan negatif publik terhadap integritas sistem politik kita. Namun, langkah-langkah hukum yang diambil memberikan harapan akan keberanian menegakkan keadilan.

Kita semua berharap, melalui kasus seperti ini, politik Indonesia dapat naik kelas dari “kelas kambing” menuju “kelas VIP.” Prosesnya memang sulit, penuh rintangan, namun sangat diperlukan untuk memperkuat fondasi demokrasi yang sejati.

Sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Ulangan, “Janganlah engkau memutarbalikkan keadilan, janganlah engkau memandang muka, dan janganlah engkau menerima suap, karena suap dapat membutakan mata orang-orang bijak dan merusakkan perkara orang-orang yang benar. Pesan ini harus menjadi refleksi bagi setiap pelaku politik dan pemilih.

Jakarta, Minggu, 4 Mei 2025
Andre Vincent Wenas, MM, MBA
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

Reporter: Johansyah

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *