Reportase Expose.com, Sendawar – Seorang tahanan Polres Kutai Barat berinisial D (33) meninggal dunia pada Senin (29/9/2025) setelah beberapa kali mengeluhkan sesak napas meskipun telah menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala. D diketahui ditahan sejak Sabtu, 13 September 2025, terkait kasus penganiayaan yang dijerat Pasal 351 ayat (1) dan (2) KUHP.
Kapolres Kutai Barat, AKBP Boney Wahyu Wicaksono, melalui Kasi Humas Ipda Sukoco menjelaskan bahwa selama masa penahanan, D telah dibawa ke rumah sakit sebanyak tiga kali untuk mendapatkan pemeriksaan medis.
“Pada Jumat, 19 September 2025 pukul 09.06 WITA, D mengeluh sesak napas dan dibawa ke RS Santa Familia. Hasil pemeriksaan saat itu menunjukkan kondisi tubuh serta saturasi oksigen dalam batas normal,” ujar Sukoco, Selasa (30/9/2025) sore.
Keluhan serupa kembali muncul sembilan hari kemudian. Pada Minggu, 28 September 2025 pukul 19.45 WITA, D kembali mengeluh sesak napas dan sekali lagi dilarikan ke RS Santa Familia.
“Pemeriksaan menunjukkan saturasi tetap normal, dan mendiang diberikan obat,” tambah Sukoco.
Namun, kondisi D memburuk keesokan harinya. Pada Senin, 29 September 2025 pukul 14.20 WITA, D mengalami kejang-kejang. Ia segera dirujuk ke RSUD Harapan Insan Sendawar untuk penanganan lebih lanjut. Sayangnya, sekitar pukul 16.27 WITA, D dinyatakan meninggal dunia oleh tim medis.
Pihak kepolisian telah melakukan visum luar dan menawarkan otopsi untuk mengetahui penyebab pasti kematian, namun pihak keluarga menolak proses otopsi. Keputusan ini dihormati oleh pihak kepolisian.
“Kami turut berbela sungkawa atas kejadian ini. Semoga keluarga diberikan kekuatan dan ketabahan,” ujar Sukoco.
D diketahui merupakan tahanan dari Polsek Damai yang dititipkan di Rutan Polres Kutai Barat sejak 13 September 2025 pukul 21.00 WITA. Selama 16 hari masa penahanan, ia beberapa kali mengeluhkan sesak napas dan telah mendapatkan penanganan medis.
“Kami memastikan bahwa mendiang telah menerima penanganan medis yang layak, termasuk perawatan dan pemeriksaan di rumah sakit setiap kali muncul keluhan,” tegas Sukoco.
Kasus ini menyoroti pentingnya sistem monitoring kesehatan yang lebih intensif di dalam rutan, terutama bagi tahanan yang menunjukkan gejala medis berulang. Meskipun hasil pemeriksaan sebelumnya dinyatakan normal, kondisi D terus menurun dan berujung pada kematian.K
1. Keluhan Medis Berulang Namun Hasil “Normal”
- D dua kali mengeluhkan sesak napas (19 dan 28 September), namun hasil pemeriksaan medis selalu menunjukkan kondisi “normal”.
- Sesak napas merupakan gejala yang bisa terkait dengan masalah serius seperti gangguan jantung, paru-paru, atau kecemasan berat.
- Apakah pemeriksaan medis sudah cukup menyeluruh? Apakah sudah dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti rontgen dada, EKG, atau tes darah?
- Perburukan Kondisi Secara Mendadak
- Pada 29 September, D tiba-tiba mengalami kejang-kejang dan meninggal hanya dalam waktu dua jam setelah dilarikan ke rumah sakit.
- Perubahan drastis ini menimbulkan pertanyaan apakah ada kondisi medis yang luput terdeteksi sebelumnya, atau apakah ada faktor lain yang terjadi di dalam rutan.
- Penolakan Otopsi oleh Keluarga
- Penolakan otopsi menyebabkan tidak adanya data medis pasti mengenai penyebab kematian.
- Visum luar tidak selalu dapat mengungkap penyebab kematian secara akurat, khususnya jika tidak ada tanda-tanda kekerasan atau luka luar.
- Durasi Penahanan yang Relatif Singkat
- D hanya ditahan selama 16 hari. Dalam waktu singkat ini, kesehatannya memburuk hingga menyebabkan kematian.
- Apakah kondisi lingkungan di dalam rutan ikut berkontribusi terhadap kemerosotan kesehatannya?
- Aspek Etis dan Prosedural
- Apakah pemantauan kesehatan harian dilakukan secara rutin?
- Apakah riwayat penyakit D sudah dicatat dengan lengkap saat ia pertama kali ditahan?
- Apakah obat yang diberikan sudah sesuai diagnosis atau hanya bersifat simptomatik?
Kesimpulan Sementara:
Secara prosedural, kepolisian telah membawa D ke rumah sakit saat mengeluhkan sakit dan telah menawarkan otopsi setelah kematiannya. Namun, sejumlah pertanyaan tetap menggantung, khususnya terkait:
- Gejala berulang yang dianggap ringan,
- Perubahan kondisi yang mendadak dan fatal,
- Tidak adanya hasil otopsi untuk memastikan penyebab kematian.
Kasus ini menegaskan perlunya transparansi dan evaluasi internal dalam sistem penahanan, terutama dalam aspek kesehatan tahanan. Pemeriksaan medis rutin yang lebih mendalam, pencatatan riwayat penyakit, serta pengawasan terhadap kondisi tahanan menjadi langkah penting untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.