REPORTASE EXPOSE.COM – SENDAWAR – Sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kutai Barat (Kubar) pada Jumat (25/7/2025), kembali menyeret sorotan tajam terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Kutai Barat. Dalam perkara dugaan korupsi proyek Rehabilitasi Jaringan Irigasi Muara Kedang, Kecamatan Bongan, pihak Kejari sebagai Termohon tidak menghadirkan saksi ahli yang seharusnya menjelaskan legalitas penetapan tersangka terhadap Pemohon.
Sebagai gantinya, Kejari Kubar hanya menghadirkan dua orang saksi fakta yang berasal dari internal kejaksaan sendiri, yakni Fais dan Rais, staf pada Bagian Administrasi Pidana Khusus. Keberadaan dua saksi ini langsung menuai keberatan keras dari tim kuasa hukum Pemohon.
Elia Ronny Sianressy, kuasa hukum Pemohon, dalam konferensi pers usai sidang menilai kehadiran kedua saksi tersebut cacat etis dan secara hukum tidak layak didengarkan keterangannya.
“Kami sangat keberatan. Saksi yang dihadirkan berasal dari internal kejaksaan, dan bahkan telah hadir serta mengikuti jalannya persidangan sebelumnya. Secara hukum etik, mereka tidak bisa lagi menjadi saksi, karena sudah terkontaminasi oleh keterangan sebelumnya,” tegas Elia.
Meski keberatan tersebut disampaikan, Hakim Tunggal Buha Ambrosius Sitomorang tetap mengizinkan keduanya memberikan keterangan. Namun menurut Elia, keterangan yang disampaikan justru semakin memperkuat dalil bahwa proses penetapan tersangka terhadap kliennya sarat pelanggaran prosedural.
Dalam kesaksiannya, Fais mengakui bahwa surat panggilan terhadap Direktur CV Saumlaki Putra hanya dibuat dua kali, masing-masing pada April dan Desember 2024. Ironisnya, ia juga menyatakan tidak mengetahui apakah surat tersebut benar-benar sampai atau diterima oleh yang bersangkutan.
“Ini fatal. Bagaimana bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka, jika surat panggilan saja tidak jelas sampai atau tidak. Saksi hanya membuat surat, tapi tidak bisa membuktikan distribusinya. Ini pelanggaran administrasi yang serius,” tegas Elia.
Lebih lanjut, Elia mengungkap adanya manipulasi dalam jenis surat yang disampaikan. Berdasarkan keterangan Fais, surat pada 17 April 2024 disebut sebagai surat panggilan untuk saksi. Namun, setelah dikonfrontir di persidangan, surat itu ternyata adalah surat klarifikasi, bukan surat panggilan sebagai saksi.
“Fakta ini menunjukkan bahwa klien kami tidak pernah dipanggil secara sah sebagai saksi sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Semua dalil kami terbukti di persidangan. Penetapan tersangka ini cacat hukum dan harus dibatalkan,” ujar Elia tegas.
Elia menegaskan, bahwa proses hukum yang dilalui kliennya merupakan bentuk kriminalisasi dan pelecehan terhadap prinsip due process of law. Ia mengajak masyarakat untuk tidak tinggal diam.
“Kami harap masyarakat bisa menilai secara objektif. Apakah ini bentuk penegakan hukum, atau justru bentuk penzoliman terhadap warga negara? Yang kami perjuangkan adalah tegaknya hukum yang adil, tidak diskriminatif, dan bebas dari penyalahgunaan wewenang,” tutup Elia.
Putusan praperadilan tersebut akhirnya mengabulkan seluruh permohonan Pemohon. Pengadilan menyatakan penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan oleh Kejari Kutai Barat tidak sah dan melanggar hukum, serta memerintahkan penghentian penyidikan dan pembebasan terhadap Pemohon.
Penulis: Johansyah